Nusantara7.com, Surabaya – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Surabaya menyebutkan timbulnya kasus kekerasan terhadap anak salah satunya karena penggunaan media sosial yang tidak sehat.
“Itu yang anak-anak sekarang tidak menggunakan gadget dengan sehat. Sebetulnya memang untuk tugas-tugas sekolah iya. Tapi untuk yang lainnya, mereka menggunakannya masih salah,” kata Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A-P2KB) Kota Surabaya Ida Widayati dalam keterangan tertulisnya di Surabaya, Jumat.
Ida mencontohkan, kasus kekerasan terhadap anak bisa saja terjadi berawal dari perkenalan remaja melalui media sosial (medsos).
Data DP3A-P2KB mencatat, sejak bulan Januari – April 2023, kekerasan yang melibatkan anak di Surabaya mencapai 30-an kasus.
Meski demikian, kata dia, pihaknya menyatakan, selama ini terus intens untuk mencegah kasus kekerasan terhadap anak.
Upaya itu dilakukan dengan cara sosialisasi dinamika remaja dalam penggunaan medsos yang sehat ke sekolah hingga Pondok Pesantren.
“Itu disampaikan bagaimana menggunakan internet yang sehat, bagaimana ilmu tentang reproduksi,” katanya.
Tak hanya itu, Ida menyebut, upaya pencegahan kasus terhadap anak juga dilakukannya melalui sosialisasi yang diselenggarakan Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) di sejumlah Balai RW Kota Surabaya.
Di sana, lanjut dia, petugas tidak hanya menerima konseling tapi juga memberikan sosialisasi bagaimana menerapkan pola asuh orang tua terhadap anak atau parenting.
“Itu sudah jalan. Ini kami juga dibantu mahasiswa jurusan psikologi, mereka kan bisa menerima konseling di awal. Tapi nanti ketika kasusnya parah, tetap dirujuk ke Puspaga di Siola,” ujarnya.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi sebelumnya menilai jumlah kasus yang libatkan anak di Kota Pahlawan masih dalam kategori wajar sehingga tidak bisa digeneralisasi dengan jumlah anak di kota setempat.
“Dalam data Unit Perlindungan Anak masih kategori wajar dan itu jumlahnya sedikit. Jadi tidak bisa ketika ada kejadian satu, dua, ‘menggebyah uyah’ (digeneralisasi) dengan jumlah anak di Surabaya,” katanya.
Menurut dia, selama ini ketika ada satu atau dua kasus yang melibatkan anak di Surabaya selalu diekspos ke media massa sehingga hal itu membuat kasus anak di Surabaya terlihat tinggi. ant