Bintang Pos, Surabaya– Pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia, khususnya pulau Jawa, ikut menopang perkembangan industri perumahan. Kebutuhan perumahan meningkat dengan semakin banyaknya keluarga baru yang muncul.
Dalam siaran pers pada pertengahan Februari 2012 silam, Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Dewan Pengurus Pusat Realestat Indonesia (REI) F. Teguh Satria mengatakan, pertumbuhan penduduk Indonesia rata-rata 1,3 persen per tahun, atau setara 4,3 juta jiwa. Tiap tahun setidaknya dibutuhkan 728.604 unit rumah per tahun.
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik menyebutkan jumlah rumah mencapai 49,3 juta unit. Tiga persen di antaranya harus direhabilitasi, atau kurang lebih 1,479 juta unit. Jika diasumsikan backlog atau kekurangan rumah nasional 8 juta unit dan bisa dipenuhi dalam jangka waktu 20 tahun, maka menurut Satria, backlog per tahun mencapai 400 ribu unit rumah.
Dari sana bisa diketahui, bahwa kebutuhan rumah di Indonesia akibat pertumbuhan penduduk, rehabilitasi, dan backlog rata-rata mencapai 2,608 juta unit per tahun. Kebutuhan ini semakin tinggi mengikuti pertumbuhan kelas menengah di Indonesia, yang menjadi salah satu parameter keberhasilan pembangunan ekonomi.
Bank Dunia menyatakan, kelompok kelas menengah mengeluarkan duit per kapita per hari 2-20 dollar Amerika Serikat, atau sekitar Rp 19 – 180 ribu per hari. Jumlah kelas menengah di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 130 juta orang dengan belanja mencapai Rp 130 triliun per bulan.
Kebutuhan besar terhadap perumahan ini jelas memiliki konsekuensi perlunya pembukaan lahan baru. Tercatat, sejak 1980 hingga 2000, sekitar 13 ribu hingga 28 ribu hektare lahan pertanian mengalami perubahan fungsi. Hermanto Siregar, Wakil Rektor Bidang Sumber daya dan Pengembangan Institut Pertanian Bogor, mengatakan, sekitar 113 ribu hektare lahan pertanian dikonversi menjadi lahan industri dan perumahan setiap tahun.
Kawasan industri dan kompleks pemukiman baru ini tumbuh di wilayah hinter land atau menjauhi pusat kota yang telah jenuh. Pembukaan area pemukiman baru ini berdampak bagai bola salju. Selanjutnya, akan lebih banyak lagi lahan yang dialihfungsikan untuk membangun infrastruktur penopang bagi warga di pemukiman baru ini. Dengan kata lain, mengutip ucapan seorang pejabat Badan Pertanahan Nasional, ‘kita lapar tanah’. Dan rasa lapar itu tak akan pernah terkenyangkan.
Di sinilah dilema muncul. Di satu sisi, pembukaan pemukiman baru dengan mengalihfungsi lahan pertanian tak terelakkan. Kebutuhan terhadap hunian adalah kebutuhan dasar, dan pemerintah menggunakan rumah atau hunian ini sebagai salah satu standar untuk mengukur tingkat kemiskinan.
Namun di lain pihak, perubahan fungsi lahan pertanian memunculkan konsekuensi berkurangnya pasokan pangan. Sesuatu yang sudah diramalkan ekonom Thomas Robert Malthus ratusan tahun silam, melihat besarnya ledakan jumlah penduduk.
Sesuai proyeksi Badan Pusat Statistik pada 2007, dengan jumlah penduduk Indonesia 247,6 juta jiwa, maka dibutuhkan kurang lebih 34,4 juta ton beras pada 2015. Itu baru dari sisi pasokan beras. Padahal kebutuhan pangan bukan hanya beras, namun juga kebutuhan terhadap tanaman hortikultura, seperti cabai dan sayur-sayuran. Beberapa kali melonjaknya harga cabai menyumbangkan inflasi.(bjt)