Bintang Pos, Jakarta – Gegap gempita pesta demokrasi di berbagai daerah di Indonesia ternyata tidak dirasakan bagi para kaum minoritas, penyandang disabilitas. Bagi tunanetra, hak politik mereka untuk memilih kandidat pilihannya terpaksa tak bisa digunakan lantaran tak adanya alat bantu kertas suara huruf braille yang disediakan penyelenggara pemilu. Sementara itu, bagi tunadaksa, lokasi tempat pemungutan suara (TPS) cukup menyulitkan mereka untuk memilih.
“Indonesia masih belum ramah terhadap penyandang disabilitas. Dari lima daerah yang kami survei, dua daerah, yakni Tangerang dan Pangkal Pinang, tidak punya sama sekali templatebraille. Alasannya setiap kali kami berdebat, mereka berdalih tidak ada mandat untuk menyediakan itu,” ujar Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Mochammad Afifuddin di dalam diskusi di Hotel Kempinski, Jakarta, Selasa (30/7/2013).
Di daerah lainnya seperti DKI Jakarta dan Mamuju, sebut Afif, fasilitas bagi penyandang disabilitas juga belum maksimal. Ia mecontohkan pada Pemilukada DKI Jakarta tahun 2012, KPU Provinsi DKI Jakarta sama sekali tidak menyediakan kerta suara huruf braille bagi tunanetra. Setelah ditegur dan diberikan pembimbingan, KPU DKI Jakarta akhirnya menyediakan kertas suara huruf braille pada putaran kedua.
Sementara itu di Mamuju, kertas suara tidak dibuat dalam huruf braille. Namun, bagi tunanetra disediakan kertas suara dengan huruf timbul. Selain itu, bagi tunadaksa, kata Afif, nasibnya setali tiga uang. Posisi TPS hingga kini masih dinilai tidak membuat akses bagi penyandang disabilitas. Seharusnya TPS itu dilengkapi dengan jalan khusus pengguna kursi roda hingga bentuk bilik suara yang membuat tidak nyaman.
Hal lain yang disoroti JPPR adalah ketidakpahaman para penyelenggara pemilu dalam memberikan informasi hingga pada saat hari pemungutan suara. “Di beberapa tempat, bagi penyandang disabilitas, mereka memilih di rumahnya sendiri didatangi petugas. Tetapi, di situ tidak ada kerahasiaan, kertas suara dibuka begitu saja di meja untuk dipilih penyandang disabilitas. Padahal, prinsip utama pemilu luber (langsung, umum, bebas, rahasia),” ucap Afif.
Lebih lanjut, Afif mengusulkan agar KPU segera menerbitkan petunjuk pelaksanaan bagi para petugas KPPU tentang cara berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Pelatihan terhadap mereka juga perlu diintensifkan.
Berdasarkan data ASEAN General Election for Disability Access (Agenda), penyandang disabilitas di seluruh dunia mencapai 15 persen dari total jumlah penduduk. Sementara itu, jumlah penyandang disabilitas di kawasan Asia Tenggara mencapai 90 juta orang dari 600 juta penduduk.
Afif mengingatkan bahwa Indonesia sudah meratifikasi konvensi hak-hak penyandang cacat. Dengan demikian, dibutuhkan komitmen dan konsistensi penyelenggara pemilu bagi penyandang disabilitas. “Penyandang disabilitas tidak meminta diistimewakan. Mereka hanya mau hak-haknya, sama juga seperti kita, untuk dilindungi,” tutup Afif.(kom)