Nusantara7.com – Irjen Pol Nico Afinta harus meninggalkan jabatannya sebagai Kapolda Jawa Timur. Kemarin (10/10) Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo memutasi Nico menjadi staf ahli bidang sosial budaya (Sahli Sosbud) Kapolri.
Dalam telegram itu disebutkan bahwa Kapolda Sumbar Irjen Pol Teddy Minahasa akan menggantikan posisi Nico sebagai Kapolda Jatim. Posisi Kapolda Sumbar kemudian diisi Irjen Pol Rusdi Hartono yang sebelumnya menjabat Widyaiswara Utama Sespim Lemdiklat Polri.
Posisi lain yang diisi dalam mutasi kali ini adalah Wakabareskrim yang ditinggalkan Irjen Pol Syahardiantono. Jabatan itu diduduki Brigjen Pol Asep Edi Suheri yang sebelumnya menjabat Dirtipid Siber Bareskrim. Selanjutnya, posisi Dirtipid Siber dijabat Kombespol Adi Vivid Agustiadi Bachtiar yang sebelumnya merupakan Pamen SSDM Polri yang ditugaskan sebagai ajudan Presiden Jokowi.
Pencopotan Nico tersebut hanya sembilan hari pasca meletusnya tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, setelah laga antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya (1/10) yang menewaskan 131 orang. Sehari setelah insiden, Nico kepada awak media sempat menyampaikan bahwa langkah polisi menggunakan tembakan gas air mata sudah sesuai dengan prosedur. Namun, hal itu menuai banyak kritik. Sebab, penggunaan gas air mata di dalam stadion justru tidak sesuai dengan aturan FIFA.
Kadivhumas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo membenarkan adanya mutasi sejumlah perwira tinggi (pati), termasuk Nico Afinta. Namun, dia menyatakan bahwa itu hanya mutasi biasa. ’’Ya Mas, mutasi (Kapolda Jatim). Tour of duty untuk anggota Polri,’’ katanya.
Di bagian lain, sekitar seminggu bekerja, Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan mendapat banyak temuan. Salah satunya dugaan pengaruh pihak tertentu dalam pengaturan waktu pertandingan antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya pada Sabtu (1/10) lalu. Untuk mendalaminya, hari ini (11/10) tim bakal memanggil PT LIB dan PSSI.
Anggota TGIPF Rhenald Kasali mengatakan, pihaknya akan mempertanyakan waktu pertandingan derbi Jawa Timur tersebut. Terlebih, aparat kepolisian sudah meminta agar waktu pertandingan dimajukan dari malam menjadi sore. ”Besar kemungkinan di situ ada pihak tertentu yang mempunyai kekuatan untuk mengatur tetap malam hari,” katanya di kantor Kemenko Polhukam kemarin (10/10) petang.
Sementara itu, kemarin TGIPF memanggil Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Salah satu yang didalami berkenaan dengan tugas pengawasan kepolisian oleh Kompolnas. Lebih spesifik, TGIPF menggali langkah-langkah aparat kepolisian yang dinilai berlebihan saat bertugas mengamankan pertandingan tersebut. Misalnya, penggunaan gas air mata.
Rhenald tegas menyatakan, jika merujuk pada regulasi FIFA, hal itu semestinya tidak dilakukan. ”Dan salah satu kecurigaan kami adalah (gas air mata) kedaluwarsa,” jelas dia.
Apabila terbukti gas air mata yang digunakan kedaluwarsa, kata Rhenald, itu merupakan pelanggaran. ”Tentu itu adalah penyimpangan,” tegasnya. Untuk itu, perlu dilakukan sejumlah langkah seperti memeriksa gas air mata yang digunakan malam itu di laboratorium.
Rhenald menyatakan, TGIPF memang sudah menemui beberapa korban dan melihat langsung efek gas air mata tersebut. ”Jadi, memang ada korban yang hari itu pulang tidak merasakan apa-apa, tapi besoknya dimulai dengan hitam,” sambungnya.
Tembakan gas air mata pada 1 Oktober lalu di Stadion Kanjuruhan bukan yang pertama. Pada 2018 tembakan serupa dilakukan pihak kepolisian saat laga Arema FC versus Persib Bandung.
Febrian, salah seorang Aremania yang menonton dua laga dengan insiden tembakan gas air mata itu, angkat bicara. Menurut dia, gas air mata yang ditembakkan seusai laga melawan Persebaya lebih mematikan. ”Lebih parah yang kemarin ini, Mas,” katanya kepada Jawa Pos di Stadion Kanjuruhan kemarin (10/10).
Pada 2018 gas air mata yang ditembakkan di dekat lokasinya duduk, yakni pintu 10, hanya membuat mata sedikit perih.
Tapi, pada 1 Oktober lalu, gas air mata yang dirasakannya jauh berbeda. Selain membuat mata sangat perih, dia merasakan tenggorokannya sakit karena menghirup gas air mata. Mukanya juga panas.
Betrice Deviyati membenarkan penuturan Febrian. Aremanita Dampit itu juga menonton dua laga dengan tembakan gas air mata di Stadion Kanjuruhan. Pada 1 Oktober lalu, gas air mata yang keluar memang jauh berbeda. Pada 2018 matanya sempat memerah setelah terkena gas air mata. ”Tapi, dua hari sudah sembuh. Yang kali ini lama, bikin mata bengkak juga,” jelasnya.
Kadivhumas Polri Irjen Dedi Prasetyo tidak secara tegas menjelaskan temuan gas air mata kedaluwarsa. Menurut Dedi, pada gas air mata yang kedaluwarsa, justru kandungan zat kimianya berkurang. ”Untuk gas air mata, saat kedaluwarsa justru zat kimianya berkurang dan efek fatalitasnya menurun,” katanya.
”Saya bukan expert, tapi saya mengutip para pakar bahwa gas air mata dengan tingkatan paling tinggi itu tidak mematikan,” jelasnya. jp