Bintang Pos, HARI ini, sejarah tidak lagi hanya bisa dipahami dan dikonstruksi oleh otoritas akademik yang mengelu-elukan obyektifitas. Sejarah tidak pula harus dimaknai sebagai puncak-puncak kejadian pada periode tertentu.
Kini, setiap orang bisa menulis sejarahnya masing-masing, karena setiap kita hari ini, yang terdiri atas pelbagai subyek, adalah sejarah yang belum tuntas. Atas dasar itu maka perjalanan hidup seseorang memiliki potensi untuk menjadi bagian dari refleksi kehidupan atas kehidupan orang lain.
Masalahnya, kita belum memiliki budaya tulis sekaligus kesadaran pengarsipan yang baik. Sebagai subyek, kita begitu malas mencatat setiap kejadian, sehingga kita menjadi orang-orang yang amnesia dengan kehidupan kita sendiri, apa lagi melacak sejarah orangtua kita terdahulu.
Jadi, ketika saya bertemu dengan buku (auto)biografi yang akan kita bahas ini, yang pertama-tama harus kita posisikan adalah penulisnya sadar betul bahwa ia hendak melawan lupa.
Ketika diamanahi untuk mengulas buku ini, sebetulnya saya tidak memiliki kompetensi yang lebih untuk membincangkannya, terutama dunia politik. Apa yang diungkapkan oleh Suryatati bahwa “politik itu kejam tak mengenal kawan dan lawan, yang penting tujuannya tercapai”, membuat saya makin ngeri saja membayangkannya.
Namun disukai atau tidak, tema politik sudah menjamah aspek kehidupan kita dan kita memang tidak bisa mengindar darinya. Ketika membaca tulisan-tulisan Suryatati A Manan yang terhimpun dalam buku Perempuan Melayu yang Tak Pernah Layu, saya merasakan betul bagaimana alur kehidupan yang fluktuatif tersirat di dalamnya.
Refleksi kehidupan yang dialami oleh sang penulis, seperti marah, bahagia, kecewa, begitu terkomunikasikan dengan baik. Sebagai pembaca, secara emosional, saya dapat menangkap pesan-pesan yang hendak dikemukakannya.
Pemimpin Perempuan
Di dalam tulisan sederhana ini, saya tak hendak lebih jauh membicarakan tentang peristiwa politik yang tidak terlampau saya kuasai. Hal yang menarik dalam sudut pandang keterbacaan saya adalah bagaimana Suryatati merepresentasikan dirinya sebagai seorang pemimpin perempuan. Kesadaran sebagai perempuan (yang feminis) sangat tergambar di dalam tulisannya.
Misalnya ia gusar ketika dogma-dogma kebudayaan patriarki masih sering dihembuskan, terutama ketika pemilihan kepala daerah. Perempuan masih dianggap sebagai kelas dua. Kesadaran melawan hegemoni dominan dijawab melalui bukti-bukti yang konkret dalam masa kepemimpinannya menjadi Walikota Tanjungpinang; terbukti pada Pilkada walikota priode 2008-2013 ia mendapatkan dukungan dari masyarakat dan tercatat pada Rekor MURI dengan persentase suara 84,25 persen.
Dukungan yang luar biasa dari masyarakat Tanjungpinang tentu tak semata-mata hanya dilihat dari mesin politik. Saya kira wujud pemimpin perempuan yang tersubstitusi dalam diri Suryatati-lah yang menjadi dominan. Terlepas dari budaya kita yang masih mengusung dominasi laki-laki dalam konteks kepemimpinan, sosok perempuan yang memiliki sensitivitas lebih baik dalam “menyentuh” masyarakat, akan menghadirkan rasa nyaman. Dan itulah yang dibutuhkan oleh masyarakat kita hari ini.
Sebagai bukti konkret, hal itu bisa dilihat dari kutipan di bawah ini, terutama percakapan antara Suryatati sebagai Walikota kepada Raja Mukmin, komandan Satpol PP dalam mengeksekusi pedagang kaki lima, kadang-kadang ada rasa tak tega dan tak manusiawi rasanya melihat ibu ibu harus lari pontang panting menyelamatkan barang dagangannya. Oleh sebab itu saya selalu berpesan kepada Raja Mukmin komandan lapangan, agar tidak menggunakan kekerasan, saya katakan “Min, awak kalau melakukan penertiban jangan main sepak sepak ye”.
Mukmin menjawab “macam mane bu, Min geram dibuatnye. Kalau ade kite, mereke tak jualan ,tapi kalau kite tak ade mereke jualan macam ‘nak gile “. Ye Min, tapi kan ade surat teguran, kasi aje surat teguran , nanti kalau sampai tiga kali ditegur tak mempan juge bise disidang. Pokoknya tak usah disepak sepak.
Selain Suryatati, sebetulnya sudah mulai banyak perempuan yang menjadi Bupati, Walikota atau Gubernur pasca era Otonomi Daerah. Hanya perbedaannya terletak pada proses kesadaran sebagai seorang perempuan.
Peduli Kebudayaan
Selain dunia politik, satu hal yang membuat Suryatati dikenal oleh khalayak adalah kepeduliannya terhadap kebudayaan, terutama seni tradisi (pantun, gurindam). Bahkan pada suatu kesempatan, bersama sahabatnya Martha Sinaga, Suryatati membacakan pantun-pantunnya di Taman Bacaan Rumah Dunia dan menghibur warga kampong Ciloang, Banten.
Beberapa budayawan, termasuk akademisi seperti Prof. Yoyo Mulyana yang melihat peristiwa estetik yang cukup langka tersebut, berdecak kagum akan dedikasi Suryatati terhadap budaya pantun.
Di dalam tulisannya, Suryatati memang memiliki misi untuk membuat ikon baru. Tepatnya pada 29 April 2008 pukul 20.00 WIB bertempat di Graha Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta, Suryatati didampingi para seniman dan budayawan, mendeklarasikan “Tanjungpinang kota gurindam negeri pantun”.
Mengembalikan sebuah wilayah pada akar tradisinya adalah tindakan yang cukup berani. Ia mahfum betul bahwa ikon ini akan menumbuhkan jati diri kota dan masyarakatnya. Sekarang ini, dalam konteks kebudayaan popular, di mana produk-produk massa menghimpit masyarakat kita, memang kesadaran untuk kembali pada tradisi lokal adalah pilihan yang cukup cerdas.
Jika hal ini tidak segera diantisipasi, sekira 10-20 tahun mendatang, bisa jadi kita akan kehilangan identitas lokal yang justru menjadi pembeda dengan wilayah lain. Intinya, pembangunan fisik harus disertai dengan pembangunan kultural.(okz-pgh)