Surabaya – Pemilihan presiden 2014 sudah dekat, semua calon mengklaim dirinya terbaik, namun kebiasaan turun ke lapangan perlahan-lahan ditinggalkan. Bagi mereka, kekuasaan hanyalah sarana untuk kepentingan pribadi. Karena itu, orientasi kekuasaan pun sekedar untuk melayani kepentingan segelintir elit. Demikian dikatakan Yulia Masruroh Sekretaris Badan Eksekutif Mahasiswa Stikes Hangtuah Surabaya,23/5/2014.
Sehingga proses pengambilan kebijakan politik terpisah dengan persoalan rakyat. Tidak pernah lagi proses penyusunan kebijakan, seperti UU dan Peraturan Daerah (Perda), melibatkan partisipasi rakyat di dalamnya. Kita tidak pernah mendengar ada pemimpin meminta pendapat rakyatnya sebelum merancang kebijakan.Seperti Undang-Undang tentang Keperawatan kita berharap juga melibatkan perawat karena menyangkut masa depan perawat.
Menurutnya, banyak kebijakan itu tidak sesuai dengan kebutuhan real rakyat. Dalam merancang kebijakan pembangunan, banyak pemimpin lebih mendengar bisikan segelintir teknokrat, yang rata-rata titipan lembaga asing atau korporasi, ketimbang aspirasi luas massa-rakyat. Banyak kebijakan pemerintah merupakan “pesanan” dari kelompok bisnis tertentu.
Namun, ketika rakyat melakukan penolakan, maka si pemimpin akan mengerahkan apparatus kekerasan untuk membungkamnya. Penggunaan represi sebagai metode menghilangkan aksi protes terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Ditambahkan oleh Raihatus Sofia bendahara BEM, rakyat sangat menginginkan kehadiran pemimpin mereka di lapangan. Selain untuk menghilangkan jarak antara pemimpin dan rakyat, kehadiran pemimpin di lapangan juga membantu untuk mengetahui persoalan konkret yang dialami rakyat. Rakyat juga berharap, persoalan-persoalan mereka bisa diserap dan diselesaikan oleh pemimpin. Maklum, selama ini persoalan rakyat sengaja dibiarkan dan diendapkan.
Menurut Sofi biasa dia disapa, para pendiri bangsa sudah merancang konsep pemerintahan kerakyatan. Artinya, sistem politik itulah yang dirancang untuk menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaaan secara nyata. Bukan sekedar bermimpi datangnya pemimpin yang mau membela rakyat.
Inilah yang dituangkan oleh Bung Karno dalam konsep “Sosio-Demokrasi” atau Bung Hatta dengan “Demokrasi Kerakyatan”. Dua konsep ini punya kecenderungan yang sama: menempatkan rakyat sebagai pemegang tampuk kekuasaaan. Dengan begitu, kekuasaan akan dipergunakan untuk melayani rakyat dan mewujudkan cita-cita nasional kita. dbs