Jakarta – Pemilu langsung yang digelar pasca-reformasi memungkinkan masyarakat lebih otonom untuk memberi suaranya. Meski aspek agama ikut memengaruhi pilihan, namun proses elektoral mengarahkan masyarakat untuk bersikap moderat.Demikian disampaikan Kepala Departemen Politik dan Hubungan Internasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Philips Vermonte, dalam peluncuran buku ‘Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 Sampai Sekarang’ karya MC Ricklefs, Indonesianis asal Australia di Jakarta, kemarin.
“Sejak 1999 elektoral kita masih baru. Politik elektoral memungkinkan orang memberikan suara lebih otonom. Kepada siapa suaranya diberikan. Walaupun dia bisa dipengaruhi aspek yang lain, seperti agama, etnis, dan yang lainnya,” kata Philips.
Dalam konteks Islamisasi, papar Philips, sejak pemilu 1999 aspek moderasi itu sudah terbuka. Ketakutan pada konservatisme memang ada, namun hal itu bisa diminimalisir dengan pemilu.
“Dengan pemilu ini mengarahkan masyarakat untuk moderat, memberi ruang moderasi, aspek-aspek yang kita sebut konservatisme bisa diminimalisir. Ini buktinya tidak ada partai berbasis agama yang bisa memonopoli suara sejak 1999,” papar Philips.
Dalam konteks basis pemilih, Philips mengatakan, sejak pemilu pertama di Indonesia tahun 1955 sebaran pemilih berdasarkan agama berada di kantong-kantong wilayah tertentu. Demikian juga dengan basis pemilih untuk nasionalis dan Islam.
“Ada prevensi orang terhadap tempat akan pemilihan terhadap partai. Ada konsentrasi-konsentrasi suara di tiap kabupaten. Kalau ditotal pada 1999-2004 suara partai Islam, bisa hijau royo-royo. Konsentrasi suara partai islam di Jawa, Aceh,” kata Philips.
Philips mengatakan dalam buku Ricklefs disebutkan justru perkembangan Islam di Jawa memunculkan konservatisme. Bahkan riset si profesor menunjukkan konservatisme muncul dari kalangan pendidikan SMA ke atas.
Hal itu, menurut Philips, sejalan dengan survei CSIS pada Februari dan Mei 2013 lalu. Di mana ditemukan makin tingginya tingkat konservatisme masyarakat.
“Dari survei CSIS menemukan, masyarakat kita makin konservatif. Hilangnya kepercayaan sosial. Tidak percaya pada pemimpin yang berbeda agama. Terus 68 persen masyarakat tidak terima ada rumah ibadah lain di lingkungannya. Justru masyarakat kita konservatif dalam hal sosial. Ruang ibadah ini kan ruang sosial,” imbuh Philips.
Meski begitu, Philip mengatakan masyarakat Indonesia selalu berubah-ubah, termasuk dalam konservatisme, dan hal itu tidak bisa dilarang. Menurut Philips, mestinya negara lebih memberikan pendidikan yang menekankan pada bidang kewarganegaraan tegas dalam penegakan hukumnya.
“Kita tidak bisa menghalangi orang berpikiran konservatif atau liberal. Tapi ketika berada di ruang publik, prinsip kewarganegaraanlah yang dikedepankan. Kewarganegaraan dijamin, namun di sini tidak ada jaminan itu,” ujar Philips.mer