https://kinganddukeatl.com

https://greenopportunities.org

https://www.bunzburgerz.com

https://www.depotbaltimore.com

https://eis.yru.ac.th/-/dragon222/

https://booking.yru.ac.th/-/rajagacor/

APBD – nusantara7

https://kinganddukeatl.com

https://greenopportunities.org

https://www.bunzburgerz.com

https://www.depotbaltimore.com

https://eis.yru.ac.th/-/dragon222/

https://booking.yru.ac.th/-/rajagacor/

Kemendagri : Pemda diminta alokasi anggaran  Laksanakan SPM Sub Urusan Bencana

Kemendagri : Pemda diminta alokasi anggaran Laksanakan SPM Sub Urusan Bencana

Nusantara7.com, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menekankan pemerintah daerah (Pemda) kabupaten/kota memprioritaskan implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) sub urusan bencana. Dalam hal ini, Pemda bisa mengalosikan anggaran APBD khusus bencana.

“Pemda diminta mengalokasikan anggaran pada APBD serta ikut dalam mengawal penerapannya di lapangan sehingga semua masyarakat yang tinggal di Kawasan rawan bencana dapat terlayani sesuai dengan indikator yang sudah ditetapkan,” kata Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Safrizal ZA dalam diskusi Penguatan Implementasi SPM sebagai rangkaian Rapat Koordinasi Nasional (RAKORNAS) BNPB, Selasa (22/2).

Safrizal menjelaskan, SPM merupakan ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang menjadi urusan wajib daerah, yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Selain itu, SPM disusun sebagai alat pemerintah pusat dan pemda dalam menjamin akses serta mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata.

“Untuk penyelenggaraan urusan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar sub urusan bencana, terdiri dari tiga jenis layanan, yaitu layanan informasi bencana, pencegahan dan kesiapsiagaan, serta pertolongan dan evakuasi korban bencana,” ucap Safrizal.

Dia mengutarakan, sebagai negara yang rawan bencana, penerapan SPM sub urusan bencana sangat penting dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Alasannya, selaian sebagai bentuk tanggungjawab pemerintah dalam melindungi warga negara, hal itu dapat mendorong penguatan kualitas pelayanan dari aparatur, sekaligus menjadi acuan penilaian kualitas pelayanan Pemerintah Kabupaten/Kota.

“Selain itu, langkah ini sejalan dengan kebijakan reformasi birokrasi dalam mendorong pelayanan publik menjadi lebih profesional,” ujarnya.

Safrizal menekankan, penerapan SPM sub urusan bencana sendiri memiliki nilai yang sangat strategis bagi pemerintah dan masyarakat. Bagi pemerintah, implementasi SPM dapat dijadikan tolok ukur dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang lebih efektif, efisien, serta lebih terukur. Sedangkan bagi masyarakat, SPM sub urusan bencana dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengukur kualitas suatu pelayanan publik yang disediakan pemerintah.

Manfaat lainnya bagi masyarakat, yakni mempunyai jaminan dalam memperoleh pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan minimalnya, khususnya yang tinggal di kawasan rawan bencana. Pemda juga dapat menjamin masyarakat di manapun mereka tinggal, untuk memperoleh jenis dan mutu pelayanan yang minimal. Meski demikian, implementasi SPM sub urusan Bencana masih terdapat beberapa permasalahan di tingkat Pemda.

“Permasalahan utama dalam implementasi SPM sub urusan bencana masih pada keterbatasan kapasitas SDM, terbatasnya pendanaan, dan sarana prasarana yang masih belum layak,” ungkap Safrizal.

Oleh karena itu, diperlukan terobosan khusus untuk mendorong Pemda dalam mengimplementasikan SPM sub urusan bencana, khususnya dengan pendekatan pentahelix, yang melibatkan pendekatan multi sector dan stakeholder.

Dia menegaskan, pemerintah pusat dan Pemda tidak boleh mundur dalam menyediakan layanan sub urusan bencana. Kemendagri dan BNPB terus mendorong dan memastikan pengintegrasian program, kegiatan dan sub kegiatan serta anggaran pemenuhan SPM dalam dokumen perencanaan daerah.

“Pemda wajib membentuk Tim Penerapan SPM melalui penetapan SK Kepala Daerah, serta menyusun cetak biru dan rencana aksi melalui penetapan peraturan kepala daerah sebagai strategi penguatan penyelenggaraan SPM sub urusan bencana,” pungkas Safrizal.

Pemda Harus Optimalkan SDM, Belanja Pegawai dalam APBD Dibatasi 30%

Pemda Harus Optimalkan SDM, Belanja Pegawai dalam APBD Dibatasi 30%

Nusantara7.com, Pemerintah daerah harus memanfaatkan dengan baik masa transisi lima tahun yang ditentukan UU Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). Sembari menunggu aturan turunan UU tersebut, pemda harus menyiapkan rencana penganggaran belanja daerah.

Sebagaimana diberitakan, dalam UU HKPD ada sejumlah norma.

Di antaranya, alokasi belanja pegawai maksimal hanya 30 persen dari APBD. Selain itu, belanja infrastruktur yang termasuk dalam belanja modal minimum 40 persen dari APBD.

Ketentuan belanja pegawai maksimal 30 persen itu bukan hal mudah untuk diterapkan. Selama ini, alokasi di setiap daerah lebih dari angka tersebut. ”Coba teman-teman lihat sendiri yang kami anggarkan untuk belanja pegawai ada berapa persen (dari APBD)? Kalau 30 persen, ya berat,” kata Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka

Kepala Badan Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPPKAD) Kota Surakarta Yosca Herman Soedradjad menambahkan, kebijakan tersebut cukup baik untuk mengatur belanja yang berkualitas. Namun, penerapannya memang harus bertahap.

”Kalau 1–2 tahun diterapkan, bakal sulit. Tapi, kalau bertahap hingga 5 tahun ke depan, mungkin bisa. Aturan dari pusat kan juga bertahap 5 tahun. Arahan dari pusat seperti apa untuk strategi terbaik sementara ini masih dalam pembahasan,” kata dia. Pada 2022, misalnya, Pemkot Surakarta merealisasikan belanja pegawai hingga 40 persen dari APBD 2022.

Senada, Wakil Wali Kota Jogja Heroe Poerwadi juga menyatakan bahwa aturan itu tidak serta-merta bisa dilaksanakan dalam waktu cepat. Terlebih, APBD 2022 Kota Jogja sudah disahkan 30 November lalu Rp 1,9 triliun. Di dalamnya diatur porsi belanja pegawai 40 persen dan belanja modal 60 persen. ”Saya kira kalau dilaksanakan dalam waktu cepat, tidak akan mudah bagi pemda. Karena sekarang mungkin banyak daerah yang komposisinya malah lebih banyak belanja pegawainya daripada belanja modalnya,” ujarnya kepada Radar Jogja di ruang kerjanya kemarin.

Penyesuaian itu, kata dia, tidak mudah dilakukan dalam waktu dekat. Bukan hanya bagi Kota Jogja, melainkan juga kabupaten/kota lain. ”Karena ini akan menyangkut tentang status kepegawaian, administrasi, dan terutama adalah kinerja ASN,” ujarnya.

Sementara itu, Pemkot Surabaya mendukung terbitnya UU HKPD. Kepala Bagian Humas Pemkot Surabaya Febriadhitya Prajatara menyampaikan, regulasi itu akan memicu daerah untuk lebih produktif dalam mengoptimalkan pengelolaan keuangan. ”Anggaran bisa dimaksimalkan untuk pelayanan publik,” kata Febri, sapaan Febriadhitya Prajatara.

Menurut dia, Pemkot Surabaya tidak pernah melampaui batas angka 30 persen dari total APBD untuk belanja pegawai. Tahun ini, misalnya, belanja pegawai berada di angka 28 persen dari total APBD 2021 sebesar Rp 8,9 triliun. Tahun depan belanja pegawai kembali ditekan menjadi 27 persen dari total APBD. Adapun APBD 2022 Surabaya diproyeksikan mencapai Rp 10,4 triliun.

Sementara itu, diberitakan Radar Banyuwangi, setelah UU HKPD diundangkan, Pemkab Banyuwangi bakal melakukan langkah-langkah tertentu agar belanja pegawai sesuai dengan ketentuan. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Banyuwangi Cahyanto Hendri Wahyudi mengatakan, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah penataan sumber daya manusia (SDM). Tiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD) harus dioptimalkan. ”Misalnya, dibuat analisis jabatan (anjab). SDM pada SKPD yang kelebihan tenaga bisa dialihkan ke SKPD lain yang kekurangan tenaga,” ujarnya kemarin.

Selain itu, pemkab menghitung jumlah pegawai yang purnatugas (pensiun) hingga lima tahun ke depan. ”Kami juga harus mengendalikan pengadaan pegawai. Lebih mengedepankan SDM yang ada untuk diberdayakan secara maksimal,” kata dia. Pemkab juga terus mendorong pemanfaatan teknologi informasi (TI) untuk menyokong kinerja pemerintah.

Pada bagian lain, Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya menuturkan, belanja yang berkualitas memang merupakan salah satu tujuan utama UU HKPD. Namun, Berly memberikan catatan.

”Perlu dikawal dalam APBD. Agar tidak banyak honor atau tunjangan yang dimasukkan dalam program-program pemda,” ujarnya. (jwp)

PPP Dorong Bupati Jember Cari Terobosan dan Peluang di Luar APBD

PPP Dorong Bupati Jember Cari Terobosan dan Peluang di Luar APBD

nusantara7.com, Jember– Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mendorong Bupati Hendy Siswanto agar mencari terobosan dan peluang di luar Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Jember, Jawa Timur, untuk mendanai pembangunan.

“Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang maksimal, menuju Jember sejahtera dan bahagia lahir batin dunia akhirat, dibutuhkan kepiawaian bupati dan wakil bupati untuk mencari terobosan dan peluang-peluang baru, untuk mendapatkan program dan anggaran yang sah halal dan dapat dipertanggungjawabkan di luar APBD tahun berjalan,” kata Imron Baihaqi, juru bicara Fraksi PPP. Continue reading →

Mendagri Janji Serius Pelototi APBD Pemda untuk Penurunan Stunting

Mendagri Janji Serius Pelototi APBD Pemda untuk Penurunan Stunting

Jakarta – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian berharap semua pemerintah daerah (pemda) serius untuk menangani masalah penurunan stunting. Hal itu bisa dilakukan dari pengalokasian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk program atasi masalah tersebut.

Tito mengatakan tiga daerah yang alokasi anggarannya tertinggi untuk program penurunan stunting yakni Kalimantan Tengah Rp 64,95 miliar, Jawa Tengah Rp 42,18 miliar, dan Papua Rp 31,48 miliar. Sementara yang alokasinya masih sangat rendah yaitu Papua Barat, DKI Jakarta dan Bengkulu.

“Papua Barat belum mengalokasikan anggaran spesifik tentang stunting. Kemudian DKI Jakarta Rp 0,25 miliar, kemungkinan problema stuntingnya juga memang tidak besar dan Bengkulu Rp 0,35 miliar,” katanya dalam Rapat Koordinasi Nasional ‘Bergerak Bersama untuk Percepatan Penurunan Stunting’ secara virtual, Senin (23/8/2021).

Tito memberikan apresiasi kepada Pemda yang telah menunjukkan keseriusan dalam mendukung program nasional penanganan stunting dengan cara mengalokasikan anggaran penurunan stunting pada 2021. Bagi yang alokasi anggarannya rendah padahal angka stunting di daerahnya tinggi, dia mengaku akan ‘memelotinya’.

“Pemda yang belum mengalokasikan APBD-nya padahal ada masalah stunting yang serius di daerahnya, agar serius dan betul-betul menjadikan program ini prioritas. Masukkan dalam APBD dengan jumlah yang cukup dan kami dari Kemendagri akan melakukan review anggaran dan akan betul-betul memelototi APBD Bapak/Ibu sekalian agar betul-betul menganggarkan dan membuat program dalam rangka untuk penurunan stunting di daerah masing-masing,” tegasnya.

“Tanpa dukungan dan keseriusan dari Pemda maka program nasional ini tidak akan berjalan secara maksimal. Pemerintah Pusat tidak akan mampu bekerja sendiri, Pemda lah yang memahami situasi daerah masing-masing,” tambahnya.

Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy menambahkan daerah yang angka stuntingnya melebihi rata-rata nasional yakni Sulawesi Selatan di Kabupaten Jeneponto 41,3% dan Kabupaten Bantaeng 21%, di Sulawesi Utara Kabupaten Minahasa 38,6%, dan di Sumatera Utara Kabupaten Nias Selatan 57%.

“Hal yang menyebabkan stunting karena kurangnya asupan gizi kronis, kemudian rendahnya cakupan akses air bersih dan sanitasi penduduk yang memiliki akses air minum berkualitas, rendahnya pendidikan orang tua, pola asuh yang salah, dan kurangnya tenaga kesehatan terutama ahli gizi dalam pemantauan perkembangan balita,” bebernya dalam kesempatan yang sama. (dtk)