Nusantara7.com – Tim khusus (timsus) bentukan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menggelar uji balistik di lokasi penembakan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat kemarin (1/8). Timsus melakukan pendalaman terkait sudut, jarak, dan sebaran tembakan.
Timsus tiba di rumah singgah Kadivpropam (nonaktif) Irjen Ferdy Sambo (TKP penembakan) sekitar pukul 10.00. Tampak juga Kadivhumas Polri Irjen Dedi Prasetyo. Tim tersebut terdiri atas Puslabfor, Inafis, dan Kedokteran Forensik Polri. Kabareskrim Komjen Agus Andrianto tiba sekitar pukul 11.00. Namun, media hanya diperbolehkan berada di dekat pos keamanan yang jaraknya sekitar 6 hingga 10 meter dari TKP.
Hingga pukul 16.15, barulah uji balistik tersebut selesai. Beberapa orang dari Puslabfor Polri tampak keluar dari rumah itu. Irjen Dedi Prasetyo juga akhirnya keluar. Dia menjelaskan, uji balistik kali pertama ini dilakukan untuk mengetahui beberapa hal, yakni sudut tembakan, jarak tembakan, dan sebaran pengenaan peluru. ”Uji balistik langsung di TKP ini,” ujarnya.
Salah satu yang didalami dalam uji balistik tersebut adalah sebaran pengenaan peluru. Namun, saat ditanya Jawa Pos bagaimana sebarannya, sudut peluru, dan proyektil yang ditemukan, Dedi menjawab belum bisa disebutkan. ”Ini baru kali pertama uji balistik. Nanti akan diumumkan secara komprehensif. Sabar ya,” jelasnya.
Terdapat dua senjata yang digunakan dalam penembakan di rumah tersebut, yakni Glock 17 dan HS 16. Versi polisi, Bharada E menggunakan Glock 17 dan Brigadir Yosua disebut membawa HS 16. ”Nanti Dirtipidum akan melakukan langkah-langkah selanjutnya setelah uji balistik,” ucap Dedi.
Saat ditanya soal banyaknya temuan yang berbeda dengan pernyataan Polri di awal kasus, Dedi menyatakan bahwa kesimpulan akhir akan disampaikan timsus. ”Timsus nanti itu ya, terima kasih,” katanya seraya menjauh dari media.
Sementara itu, Jawa Pos kemarin mewawancarai beberapa ahli forensik untuk mendapat informasi tentang proses otopsi. Terutama terkait pernyataan kuasa hukum keluarga Yosua yang menyebutkan bahwa jaringan otak Yosua berpindah dari kepala ke dalam dada. Selain itu, organ pankreas Yosua disebut tidak ada.
Dokter spesialis forensik dan medikolegal Dedi Suhendar menjelaskan, pemindahan organ, termasuk otak jenazah, biasanya dilakukan untuk mencegah kebocoran. Untuk tidak ditemukannya pankreas, terang dia, dalam otopsi biasanya organ diteliti lebih lanjut ke laboratorium. Namun, yang paling penting, treatment-treatment tersebut seharusnya tidak boleh mengubah hasil dari analisis kedokteran forensik. ”Organ diperiksa di laboratorium itu juga seharusnya untuk kepentingan memeriksa peristiwa yang terkait dengan jasad tersebut,” ujarnya.
Dikonfirmasi terpisah, dokter ahli forensik sekaligus Dekan FKIK Ukrida Jakarta Anton Castilani menjelaskan, otak merupakan organ tubuh yang paling mudah membusuk. Karena itu, dalam sebuah otopsi, sangat lazim bila otak ditaruh di perut. ”Karena saat membusuk nanti cairannya bisa bocor melewati hidung, mata, dan telinga. Itu tidak elok saat jenazah dilihat keluarga,” tutur dia.
Selanjutnya, untuk pankreas yang tidak ditemukan, Anton mengatakan bahwa karakter dan bentuk pankreas memang sulit ditemukan. ”Pankreas letaknya terbungkus di antara lipatan usus 12 jari. Ukuran pankreas juga kecil,” ujarnya.
Belum lagi, terkadang pankreas tertutup oleh lemak tubuh. Anton menerangkan, dokter bedah dan dokter yang belajar anatomi memang susah menemukan pankreas. ”Memang tidak selalu terlihat,” ucapnya.
Namun, bila organ tersebut diambil untuk kepentingan laboratorium, biasanya hanya sebagian. ”Sampel saja, diambil sedikit untuk tes mikroskopis misalnya,” tutur purnawirawan Polri tersebut.
Sementara itu, Komnas HAM menegaskan, konstrim waktu kejadian tewasnya Brigadir Yosua makin padat. Itu seiring dengan banyaknya dokumen serta keterangan yang diperoleh sampai saat ini. Hanya, semua itu belum bisa menyimpulkan apakah kematian Yosua masuk kategori dugaan pelanggaran HAM, khususnya penyiksaan.
”Konstrim waktu semakin lama semakin padat, tinggal menguji beberapa keterangan (yang diperoleh, Red) itu,” kata Komisioner Komnas HAM M. Choirul Anam dalam konferensi pers kemarin. Selain menguji keterangan, Komnas HAM akan mengecek validitas dokumen yang didapatkan selama hampir tiga pekan tersebut.
Anam menambahkan, pihaknya kemarin melanjutkan pemeriksaan terhadap sejumlah orang dekat Ferdy Sambo. Mulai ajudan atau aide-de-camp (ADC) dan asisten rumah tangga (ART) keluarga Ferdy Sambo. Pemeriksaan itu dimulai pukul 10.00 hingga 17.00. ”Kami mendalami hubungan ADC dengan ADC, ADC dengan Pak Sambo dan Bu Putri (Putri Candrawathi, istri Ferdy Sambo, Red),” ungkapnya.
Sejatinya Komnas HAM juga mengagendakan pemeriksaan terhadap petugas tes PCR di rumah Sambo di Jalan Saguling, Duren Tiga. Namun, yang bersangkutan belum bisa hadir. ”Tapi, kami mendapatkan hasil tes PCR meski petugas kesehatan itu belum bisa hadir,” lanjut Anam. Pemeriksaan tersebut rencananya dijadwalkan kembali dalam waktu dekat.
Sejauh ini Komnas HAM sudah memeriksa semua ajudan Sambo. Rencananya, Rabu (3/8) besok Komnas HAM mengagendakan pemeriksaan terkait balistik. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mengetahui senjata dan peluru yang digunakan saat kejadian penembakan di rumah singgah Sambo pada Jumat (8/7) lalu. ”Jadi, kami perlu tahu senjatanya apa, pelurunya apa,” terang Anam.jp