Bintang Pos – Surabaya, Menguatnya dukungan politik sejumlah partai kepada duet calon gubernur dan wakil gubernur petahanan Jawa Timur, Soekarwo dan Saifullah Yusuf (Gus Ipul), perlu mendapat respons serius dari mereka yang mencintai dan mempercayai demokrasi. Permufakatan politik di tingkat elite dalam menentukan pemimpin bisa membahayakan kehidupan demokrasi dan partisipasi warga jika dibiarkan.
Dalam skenario permufakatan politik elite, atau disebut pula dengan politik aklamasi, sebagian besar partai memilih ‘jalan aman’ dalam pemilihan gubernur Jatim mendatang. Mereka membentuk koalisi besar untuk mendukung kandidat petahana. Sejauh ini baru PDI Perjuangan yang enggan terlibat dalam koalisi besar tersebut. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terpecah: pengurus pusat lebih memilih Khofifah Indar Parawansa, namun pengurus wilayah lebih cenderung mendukung ‘duet brengos’: Pakde-Gus Ipul.
Di satu sisi, soliditas partai-partai berdiri di belakang ‘duet brengos’ bisa dilihat sebagai hal positif. Ini artinya, selama memerintah Jatim, Soekarwo berhasil mengonsolidasikan kehidupan sosial politik. Harmonisasi antara partai-partai yang memiliki kursi di parlemen dan eksekutif, selama periode pertama kepemimpinan Soekarwo, ikut memuluskan pemerintahan. Stabilitas politik adalah salah satu pondasi pertumbuhan perekonomian Jatim.
Namun di sisi lain, merapatnya partai-partai ke petahana menunjukkan sinyal kuning bagi partai politik sendiri. Pertama, pengurus partai mulai terjebak dalam zona nyaman. Mereka lebih memilih mendukung kandidat petahana, karena berpeluang besar menang. Partai enggan berlelah-lelah mengusung kandidat lain yang berpotensi kalah, walau secara ideologi, program kerja, maupun visi, lebih dekat.
Kedua, partai kekurangan kandidat kepala daerah dari internal. Ini menunjukkan betapa rapuhnya kaderisasi di tubuh partai. Ironis, mengingat dalam kehidupan demokrasi, eksistensi partai diakui karena menjadi ‘pabrik’ pemimpin negara.
Dengan memilih kandidat petahanan dengan alasan lebih mudah meraih kemenangan, mesin partai tak teruji. Dalam pemilihan gubernur, personalitas calon, terutama petahana, begitu besar, sehingga efektivitas mesin partai tak tampak signifikan. Ini tentu harus diperhatikan partai-partai, karena 2014, mereka menghadapi perhelatan politik pemilu.
Bagi kehidupan politik publik, merapatnya partai-partai ke calon gubernur dan wakil gubernur petahana bisa dipandang kurang sehat. Publik tidak diberikan pilihan opsi-opsi calon pemimpin. Padahal, seharusnya partai bertugas menyediakan daftar pemimpin dengan beragam latar belakang dan ideologi, yang selanjutnya rakyat dibebaskan memilih. Kesepakatan tingkat elite untuk memilih satu pemimpin meremehkan nalar dan hak demokrasi rakyat.
Undang-undang memang mengharuskan ada kandidat kepala daerah lebih dari satu. Namun dengan semangat aklamasi yang kuat di tingkat elite, tidak ada jaminan satu kandidat di luar petahana bukanlah ‘boneka’ untuk membuat pemilihan tetap dimenangkan petahana secara konstitusional.
Dalam konteks inilah, perlu didorong munculnya kandidat di luar petahana dengan kekuatan tekad untuk berkompetisi secara all out. Khofifah Indarparawansa memenuhi kriteria itu. Jika saja partai-partai berbasis NU (Islam Tradisional) solid, Ketua Umum PP Muslimat itu seharusnya tak kesulitan mandaftarkan diri sebagai salah satu kandidat. Masalahnya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) di tingkat provinsi, kelihatannya, memilih merapat ke petahana.
Dalam kondisi dan situasi politik yang masih tak pasti ini, Khofifah sebaiknya sudah harus bergerak cepat mencari alternatif kendaraan lain di luar partai NU. Selepas wafatnya KH Abdurrahman Wahid, tak ada lagi tokoh yang bisa menyatukan NU secara politik. Maka, berharap partai-partai NU bersatu di belakang Khofifah ibarat pungguk merindukan bulan.
Khofifah tak perlu ragu untuk menggunakan kendaraan sebagai calon independen. Kekuatan dan jaringannya sebagai tokoh penting di Muslimat NU patut digunakan. Tak sulit bagi Khofifah untuk memenuhi syarat sebagai kandidat independen, jika melihat besarnya populasi anggota Muslimat NU di Jatim.
Khofifah juga perlu mempertimbangkan untuk merekrut kader Muhammadiyah sebagai calon wakil gubernur. Kombinasi NU (Islam Tradisional) -Muhammadiyah (Islam Modernis) secara politik sangat menguntungkan bagi bangsa ini, jika mampu memimpin provinsi yang selama ini menjadi ‘tulang punggung’ stabilitas Indonesia.
Khofifah mesti tetap jalan dengan kepercayaan politik tinggi dan tak perlu putus asa. Demi penyelamatan demokrasi di Jatim, ia harus maju sebagai salah satu kandidat gubernur dan tak patah arang di tengah jalan.(Bejat-ach)