Bintang Pos, Malang – Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menyatakan jika tantangan Perguruan Tinggi Islam Swasta saat ini sangat berat akibat perubahan teknologi dan sosial yang sangat pesat yang menuntut PTIS terus menguatkan penguasaan Iptek.
“Indikator kemajuan bangsa saat ini adalah kemajuan Ipteknya. Nah pendidikan yang baik adalah pembelajaran yang memajukan Iptek yang dapat membaca zaman 10 hingga 15 tahun yang akan datang,” tegas Jusuf Kalla dihadapan sekitar 180 rektor PTIS di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Sabtu.
Pendidikan itu, lanjut Jusuf Kalla, memiliki jangka sangat panjang, sehingga tak bisa diukur hasilnya secara instan. Oleh karena itu pendidikan harus disiapkan hingga jauh ke depan, bahkan melampaui zamannya saat ini.
Dia mencontohkan teknologi tak hanya mengubah kehidupan manusia, tetapi juga sistem produksi dan sistem kerja. “Itu semua harus dikejar oleh PTIS, sebab kalau tidak kita akan ketinggalan,” ujarnya.
Misalnya, kata Jusuf Kalla, dokter yang tidak belajar selama tiga tahun saja akan kehilangan ilmu-ilmu baru dunia kedokteran, sedangkan insinyur yang tidak meng-update ilmunya lima tahun akan tertinggal jauh.
Menurut Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum PMI itu mengatakan peran perguruan tinggi dalam perubahan itu sangat cepat dan teknologi bisa berubah karena adanya universitas dan industri.
Jusuf Kalla juga mendorong agar PTIS tidak hanya berfikir sosial. Jika pendidikan hanya dianggap sebagai aksi sosial saja, maka tidak akan berkembang karena Iptek membutuhkan inovasi dan dana dan tidak akan berfikir untung rugi.
Padahal, tegasnya, perguruan tinggi harus difikirkan sebagai social enterprise, yang mencari keuntungan untuk mengembangkan universitasnya itu, termasuk mengembangkan nilai-nilai ke-Islaman.
“Untuk merealisasikan semua itu, saya mengusulkan harus ada pusat-pusat yang menjaga mutu bersama, sehingga jika ada PTIS yang keluar dari nilai-nilai itu maka harus siap dikeluarkan dari BKS-PTIS,” ujarnya, menegaskan.
Keberhasilan NU dan Muhammadiyah dalam mengembangkan dunia pendidikan harus ditiru. Dalam ini Jusuf Kalla menganalogikan NU itu seperti franchise sedangkan Muhammadiyah seperti holding.
Muhammadiyah memiliki amal-amal usaha yang semua bernama, bermerk Muhammadiyah dan dimiliki oleh pusat Muhammadiyah bukan orang perorang. Sedangkan NU memiliki banyak nama untuk perguruan tingginya dan dimiliki oleh kiai-kyai, itu ibarat waralaba, tetapi kontrol kualitas tetap ada pada NU,” katanya, menambahkan.
Namun, di luar NU dan Muhammadiyah, menurut JK masih harus ada kampus-kampus lain yang memiliki bentuk berbeda-beda. Semangat yang harus dibangun adalah kebersamaan dalam mengembangkan keIslaman. “Namanya saja Badan kerja sama, jadi harus fokus pada kerjasamanya,” tandas Jusuf Kalla. (ant-kba)