Jakarta – Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie menyatakan sistem demokrasi di Indonesia perlu dibuat lebih efisien agar dapat mengurangi permasalahan pemilu.Tampil sebagai pembicara dalam diskusi “Pekan Politik Kebangsaan” yang digelar di Kantor International Conference of Islamic Scholars (ICIS) di Jakarta, Kamis, Jimly mengatakan efisiensi demokrasi bisa diwujudkan dengan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden secara bersamaan.
“Pemilu presiden dan pemilu legislatif dilakukan secara bersamaan juga untuk menghindari terjadinya penyanderaan pemilu presiden oleh hasil pemilu legislatif,” kata pakar hukum tata negara itu.
Selain itu, kata Jimly, untuk mewujudkan efisiensi demokrasi, gubernur dan bupati/wali kota cukup dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) secara terbuka.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu juga berpendapat wakil kepala daerah tak harus dipilih langsung sepaket dengan kepala daerah.
“Bila perlu ditiadakan, karena sering terjadi konflik antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah,” katanya.
Ia pun mengusulkan agar masa jabatan kepala daerah cukup satu periode saja, karena terlalu berkuasanya calon-calon petahana dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
Pada bagian lain Jimly menyatakan liberalisasi politik yang diterapkan di Indonesia menghasilkan adanya politik oligarki dan politik dinasti.
“Demokrasi bentuk ini menutup jalan untuk terpilihnya pemimpin yang berintegritas,” tandasnya.
Senada dengan Jimly, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Asad Said Ali menyatakan demokrasi neoliberal yang materialistis dan pragmatis membuat sistem pemilihan umum sangat bergantung pada modal.
“Politik uang secara sistemik meluas di masyarakat,” kata penyandang gelar doktor honoris causa bidang hukum dari Universitas Diponegoro Semarang itu.
Secara terpisah Sekretaris Jenderal ICIS KH Hasyim Muzadi menyatakan acara “Pekan Politik Kebangsaan” digelar untuk mengkritisi demokrasi yang sudah berjalan selama 15 tahun dan menyongsong Pemilu 2014.
“Kita perlu mengukur kembali demokrasi yang sudah berjalan selama ini. Benarkah rakyat telah disuguhi leadership dan sistem yang baik? Benarkah rakyat semakin sejahtera dengan sistem ini? Mampukah sistem yang ada melahirkan partai yang memiliki loyalitas kepada kepentingan rakyat dan negara?” katanya.
Ia mengatakan reformasi pada hakikatnya merupakan proses demokratisasi untuk memperbaiki sistem bernegara, namun setelah 15 tahun berjalan, demokrasi yang disuguhkan justru jauh dari harapan.
Demokrasi yang diterapkan di Indonesia justru melahirkan oligarki, sementara sistem pemilu yang dibangun tidak melahirkan pemimpin, baik nasional maupun daerah, yang berkarakter negarawan.
“Mereka berkompetisi untuk menjadi pemimpin dengan berbasis pada kekuatan uang, iklan, dan popularitas, bukan pemimpin yang lahir melalui proses perjuangan,” tandas Hasyim.atn