bintangpos.com – Toleransi keagamaan di Indonesia, khususnya di Ibu Kota Jakarta, tidak pernah lekang dimakan waktu. Telah 70 tahun Indonesia menikmati kemerdekaannya, sepanjang itu pula banyak agama dan masing-masing penganutnya hidup berdampingan dengan damai.
Gulraj Singh yang merupakan pemimpin kuil kepercayaan Sikh di kawasan Pasar Baru, menjadi salah seorang yang menikmati kemerdekaan beribadah itu. Pria yang sudah 70 tahun hidup di Indonesia, dia merasakan indahnya hidup berdampingan dalam keberagaman.
“Toleransi di Indonesia itu hebat, dari dahulu keagamaanya beragam tetapi bisa berdampingan. Sudah lebih 70 tahun saya hidup di Indonesia ini, melihat kerukunan, gotong royong dan Pancasila menjadi pemersatu kita.”
“Perbedaan agama tidak dipersoalkan, tidak seperti di negeri lain yang mencampuradukkanya dengan politik sehingga malah runyam,” kata dia ,Rabu (12/8/2015).
Di Jakarta, simbol toleransi keagamaan berdiri kokoh di pusat kota. Masjid Istiqlal yang akbar dan Gereja Katedral yang menjulang menjadi saksi bisu harmoni keagamaan masyarakat Ibu Kota. Rumah ibadah 2 agama yang berbeda itu juga menjadi ikon toleransi Indonesia bagi masyarakat Internasional.
Uskup Agung DKI Jakarta, Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo, mengaku sering mendengar pujian dari teman-temannya yang merupakan negara asing. Menurut mereka, kata Ignatius, meski Indonesia negara muslim terbesar di dunia, namun tidak pernah ada kerusuhan agama yang sampai merusak tatanan negara.
“Mereka juga kagum dengan realitas rumah ibadah seperti Istiqlal dan Katedral yang berdampingan. Simbol di mana kerukunan berada di Indonesia,” kata dia.
Toleransi dan kebersamaan memang sudah ditanamkan para pelopor negeri sejak awal kemerdekaan. Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno bahkan memperlihatkan potret kebersamaan itu saat membangun Istiqlal. Ia tak segan melibatkan arsitek non-Islam untuk mendirikan masjid terbesar di Asia Tenggara itu.
Abu Hurairah, protokoler masjid Istiqlal menceritakan, Frederich Silaban, arsitek yang mendesain Istiqlal itu adalah penganut kristiani. Rancangannya yang bertema “Ketuhanan” dipilih pak Soekarno.
“Meski bukan muslim, pak Silaban itu sengaja menghabiskan waktu mempelajari lebih dalam mengenai cara ibadah orang muslim dan konsep masjid lain di dunia. Itu bukti toleransi ada di sini,” ujarnya.