Jakarta – Pemerintah menyambut baik rencana Presiden Terpilih Joko Widodo (Jokowi) yang bakal menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sekitar Rp3 ribu per-liter. Kenaikan harga BBM dinilai logis karena beban subsidi dianggap perlu dikurangi.
“Subsidi BBM yang sudah mencapai Rp300 triliun, atau hampir Rp1 triliun per hari. Ibaratnya, itu sama dengan menggarami lautan,” kata Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Susilo Siswoutomo, di Jakarta, Kamis, 2 Oktober 2014.
Jika kenaikan tak ditempuh, lanjutnya, disparitas harga akan masih tinggi. Hal inilah yang kemudian memungkinkan adanya penyelundupan BBM bersubsidi dan berpotensi jebolnya kuota BBM.
“Selama ada disparitas, tetap saja kuota akan jebol,” kata dia.
Andaikan subsidi dicabut, pemerintah dikatakan dapat mengalokasikan subsidi BBM untuk keperluan lain. Misalnya, pembangunan infrastruktur.
“Dengan begitu, pemerintah tak perlu melakukan utang untuk sekadar pembangunan infratruktur. Mudah-mudahan semangatnya mengurangi subsidi BBM. Kalau subsidi dikurangi 30 persen saja, subsidi yang bisa dihemat Rp150 triliun. Bayangkan berapa banyak infrastrukturnya yang dibangun dengan Rp150 triliun per tahun,” kata dia.
PT Pertamina (Persero) juga dinyatakan siap bila sewaktu-waktu ada instruksi untuk menaikkan harga BBM bersubsidi.
“Kebijakan BBM bersubsidi itu kewenangan pemerintah. Pertamina tak ada masalah, siap menjalankan (mandat) pemerintah,” kata dia.
Sebelumnya, kepastian rencana kenaikan harga BBM disampaikan penasihat Jokowi-JK, Luhut Pandjaitan, saat peluncuran buku Outlook Energi 2014, di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) BPPT Jakarta, beberapa waktu.
“Tidak ada pilihan lain. BBM bersubsidi harus dinaikkan. Jika tidak, defisit kas negara tidak dapat ditanggulangi,” ucap Luhut.
Jika harga BBM tidak dinaikkan, lanjut Luhut, maka pemerintahan Jokowi JK akan mengalami defisit kas sekitar Rp72 triliun.vns