Nusantara7.com – Wacana legalisasi ganja untuk kepentingan medis mulai dibahas di Komisi III DPR kemarin. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan bahwa ganja medis berpeluang untuk dilegalkan.
Dalam rapat tersebut, komisi III mengundang Santi Warastuti, seorang ibu yang viral karena menyuarakan legalisasi ganja medis untuk kesembuhan anaknya. Santi didampingi kuasa hukumnya, Singgih Tomi Gumilang, yang mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ganja. Komisi III juga mengundang peneliti ganja dari Universitas Syiah Kuala Aceh Musri Musman.
Rapat yang dipimpin Desmond Junaidi Mahesa itu memberikan kesempatan pertama kepada Musri untuk memberikan penjelasan terkait manfaat ganja dan penggunaannya. Musri mengatakan, banyak manfaat yang bisa didapat dari ganja. Misalnya, minyak dari biji ganja. ”Pada bijinya terdapat sejumlah nutrisi yang bisa digunakan dalam kehidupan kita,” tuturnya.
Dia menerangkan, minyak biji ganja bisa dicerna dan diserap 100 persen oleh tubuh manusia. Jadi, tidak ada yang meracuni dan memabukkan. Minyak itu mempunyai nutrisi seperti telur ayam. Satu sendok minyak biji ganja bisa menggantikan kebutuhan nutrisi dalam sehari.
Minyak biji ganja juga mengandung omega 6 dan omega 3. Musri menyatakan, tidak ada tumbuhan lain yang mengandung perbandingan kandungan omega 3 dan omega 6. Bukan itu saja. Musri menyebut, minyak biji ganja juga mengandung vitamin B1 dan B2. Bahkan, bisa digunakan untuk menangani stunting. Dia menegaskan, minyak biji ganja juga bisa digunakan untuk menangani cerebral palsy. Penyakit itulah yang diderita oleh anak Santi.
Musri memaparkan, pemberian 600 miligram minyak biji ganja per hari tidak mengakibatkan mabuk, tidak membahayakan, dan tidak mendatangkan adiksi. ”Cara penggunaannya bisa ditaruh di bawah lidah, bisa seperti merokok, dan bisa dengan uap,” tuturnya.
Dari sisi ekonomi, lanjut Musri, 1.000 hektare tumbuhan ganja bisa menghasilkan Rp 34,8 triliun per tahun. Itu hitungan tanaman ganja yang tumbuh di lahan tandus dan tanpa diberi pupuk. ”Itu APBD Aceh bisa disubsidi dari tanaman ganja,” terang dia.
Singgih berharap legalisasi ganja untuk medis bisa dimasukkan dalam revisi UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika. Dia berharap ada pasal khusus yang mengaturnya dan ada aturan turunan yang bersifat khusus.
Anggota Komisi III Romo Muhamad Syafi’i mengatakan, setelah mendengarkan penjelasan dari Musri, ternyata ganja mempunyai manfaat yang sangat banyak. Bahkan, stunting bisa diatasi dengan minyak biji ganja. Betul-betul mempunyai banyak manfaat untuk kesehatan. Jadi, dia mendukung jika tumbuhan itu digunakan untuk kebutuhan medis. ”Bukan untuk melegalisasi ganja, tapi hanya untuk kebutuhan medis dan kesehatan,” papar politikus Partai Gerindra itu.
Eva Yuliana, anggota komisi III dari Fraksi Nasdem, mengatakan bahwa ganja merupakan tumbuhan yang diciptakan oleh Tuhan yang diyakini suci dan bersih. Ganja menjadi tidak baik karena penggunaan dan pemanfaatannya yang tidak baik. Semua hal yang berlebihan penggunaannya tentu tidak baik. Jadi, tumbuhan yang sejatinya suci, kemudian digunakan untuk kebutuhan kesehatan yang juga suci, sehingga tidak ada yang salah. Dia sangat setuju penggunaan ganja untuk medis. ’’Saya akan bersama Bu Santi dan akan memperjuangkannya,” tegasnya.
Terkait aturan hukum dalam UU Narkotika, Eva menegaskan, hal itu bisa diubah melalui revisi. Menurut dia, perubahan tersebut harus dilakukan untuk menyelamatkan anak-anak bangsa yang sedang sakit.
I Wayan Sudirta, anggota Komisi III dari PDIP, mengatakan bahwa saat ini ganja masuk kategori narkotika golongan I. Dalam Pasal 6 Ayat 1 Huruf a UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan, narkotika golongan I hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak dipergunakan dalam terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Untuk keperluan medis, kata dia, ganja harus dimasukkan dalam kategori golongan II sehingga dapat digunakan untuk terapi dan pengembangan ilmu pengetahuan. Sedangkan pasal 6 ayat 3 tegas mengamanatkan bahwa perubahan penggolongan narkotika diatur dengan peraturan menteri kesehatan. Celah hukum untuk mengubah penggolongan ganja terdapat dalam penjelasan pasal 6 ayat 3 yang menyatakan bahwa perubahan penggolongan narkotika adalah penyesuaian penggolongan narkotika berdasar kesepakatan internasional dan pertimbangan kepentingan nasional. Jadi, UU tentang Narkotika telah memberikan pintu yang lebar agar penggolongan ganja diubah dari golongan I menjadi golongan II.
Dalam tataran internasional, pada akhir 2020, Komisi Narkotika PBB sudah mengeluarkan ganja dari golongan IV. ”Artinya, ganja telah dikeluarkan sebagai narkotika berbahaya yang tidak memiliki manfaat medis,” ungkapnya.
Hal itu sudah ditindaklanjuti oleh setidaknya 50 negara yang memiliki program ganja medis, termasuk Malaysia dan Thailand. ’’Legalisasi dapat dilakukan melalui peraturan menteri kesehatan yang mengubah ganja dari narkotika golongan I menjadi golongan II,” ungkapnya.
Langkah selanjutnya adalah merevisi UU Narkotika yang sedang dibahas komisi III. Apalagi jika nanti putusan MK juga mengabulkan permohonan terhadap ketentuan Pasal 6 Ayat 1 dan Pasal 8 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang juga diajukan oleh Santi. (jp)